Rabu, 20 April 2011

Menggali Akar Bom Bunuh Diri

Editorial Media Indonesia / Sabtu, 16 April 2011 07:18 WIB

BOM bunuh diri terjadi di dalam masjid di kompleks Kantor Polresta Cirebon, Jawa Barat, kemarin. Pelaku bom bunuh diri itu tewas dan 27 orang luka-luka, termasuk Kapolresta Cirebon Ajun Komisaris Besar Herukoco.


Bom bunuh diri di Polresta Cirebon itu berbeda dengan pola bom bunuh diri sebelumnya yang menyerang fasilitas yang berkaitan dengan kepentingan Amerika.

Bom sebelumnya sarat dengan kebencian terhadap Amerika yang dianggap gemar menyerang dan menduduki negara-negara Islam.

Bom bunuh diri kali ini sebaliknya, malah dilakukan di masjid, ketika umat Islam hendak salat Jumat. Inilah pertama kali terjadi di negeri ini bom diledakkan di masjid, bahkan di masjid di lingkungan kantor kepolisian.

Mengapa masjid yang dijadikan sasaran? Apakah itu cara untuk mengaburkan motif bahwa pelakunya bukan dari kalangan Islam ekstrem? Mengapa pula yang dipilih kantor kepolisian? Apakah polisi tengah menjadi sasaran terorisme setelah polisi berhasil menumpas berbagai pentolan teroris?

Yang pasti, rasa aman masyarakat terusik. Jika kantor polisi saja tidak aman dari serangan bom bunuh diri, bagaimana dengan keamanan ruang-ruang publik lainnya? Jika polisi yang dibekali dengan keterampilan menjaga keamanan saja tidak aman dari serangan terorisme, bagaimana dengan masyarakat umum?

Oleh karena itu, aparat keamanan harus dapat mengungkap kasus ini sebagai langkah awal bagi pemulihan rasa aman masyarakat.

Akan tetapi, menangkap dan menghukum mati para pelaku bom ternyata tidak cukup untuk menghancurkan terorisme. Buktinya, teroris baru terus lahir.

Kita harus menggali akar bom bunuh diri di Indonesia. Apalagi, sebagian pelaku bom bunuh diri dan tersangka teroris adalah anak-anak muda. Dani Dwi Permana, pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott pada 2009, misalnya, masih berusia 19 tahun. Begitu pula pelaku bom bunuh diri di Polresta Cirebon diperkirakan masih berusia 20 tahun.

Kita sering kali berkesimpulan pencucian otak dengan doktrin-doktrin agama menjadi penyebab anak-anak muda itu menjadi teroris, bahkan rela mati dengan melakukan bom bunuh diri. Pertanyaannya, mengapa mereka begitu gampang direkrut dan diindoktrinasi?

Kemiskinan, keterbatasan pendidikan, ketiadaan pekerjaan, dan frustrasi sosial sepertinya menjadi penyebab utama mereka begitu mudah diindoktrinasi untuk menjadi teroris. Semua persoalan sosial itu menjadi habitat subur bersemainya terorisme.

Para pelaku bom bunuh diri umumnya memang berasal dari kalangan ekonomi kelas bawah.

Dari sudut pandang ini, selain terus melakukan tindakan represif oleh kepolisian, pertumbuhan terorisme hanya dapat dimandulkan dengan memperbaiki keadaan ekonomi rakyat. (metrotvnews.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar